JPP, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan utang pemerintah akan selalu dikelola secara berhati-hati dengan mengedepankan tata kelola yang berlaku.
"Pemerintah akan terus mengelola utang secara hati-hati dan bertanggung jawab sesuai standar pengelolaan yang dianut oleh negara-negara di dunia," kata Sri Mulyani dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Jakarta, Kamis (27/7/2017).
Tampil juga sebagai pembicara dalam acara yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informasi itu adalah Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Kepala BKPM Thomas Lembong.
Disampaikan oleh pemerintah, hingga akhir Mei 2017 lalu, jumlah total utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 3.672,33 triliun. Dari angka tersebut. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, mencatat ada yang jatuh tempo pada 2018 senilai Rp 390 triliun dan pada tahun 2019 sekitar Rp 420 triliun.
Adanya utang, kata Sri Mulyani, tidak lepas dari kondisi pengeluaran pemerintah yang lebih besar dari penerimaan. "Utang ini bukan masalah suka atau tidak suka. Tapi ini pilihan. Sebagai bentuk tanggungjawab dalam menjalankan anggaran," katanya.
Pemerintah menjaga agar defisit anggaran dalam satu tahun APBN tidak lebih 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun tersebut.
Tugas menjaga defisit itu ada di UU Keuangan Negara . "Pemerintah akan memastikan, menjaga maksimal utang 3 persen tersebut untuk selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara tiap tahunnya," tegas Sri Mulyani.
Secara total akumulatif, Sri Mulyani mengakui, utang pemerintah memang naik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari pengeluaran negara yang terus naik dan mengalami defisit di sekitar 2,4 persen di tahun 2017.
Namun begitu, total akumulatif utang pemerintah saat ini, estimasinya hanyalah sekitar 28% dari PDB tahun 2017. Persentase ini tergolong rendah kalau dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN.
Dalam berutang, Pemerintah berpedoman pada Undang-Undang (UU) Keuangan Negara. Beleid itu mengatur maksimal total utang pemerintah yang diperbolehkan, yakni 60 persen dari total PDB.
“Jadi, kalau saat ini kita di sekitar 28 persen itu masih jauh dari maksimal yang diperbolehkan UU dan di bawah Negara-negara tetangga juga,” pungkasnya.
Jaga Stabilitas
Selain mengungkap pengelolaan utang, Sri Mulyani juga menekankan, langkah yang diambil pemerintah untuk menjaga tingkat utang agar tidak mengancam stabilitas perekonomian dan tidak menjadi beban yang tidak dapat dipenuhi.
"Dengan rasio utang terhadap PDB di bawah 30 persen, utang akan terus digunakan untuk investasi produktif, membangun infrastruktur, meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas pelayanan kesehatan," katanya.
Menurut dia, pengelolaan utang yang baik tersebut akan mempertimbangkan sisi waktu penarikan utang, komposisi mata uang, jatuh tempo serta pengendalian kas pemerintah.
"Ini dilakukan untuk memastikan keberlanjutan dan menjawab tantangan pembangunan yang semakin kompleks, tidak hanya untuk generasi sekarang, namun juga generasi akan datang," kata Sri Mulyani.
Ia memastikan transparansi dan pengelolaan utang pemerintah selama ini telah mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik dan keberlangsungan yang terjaga.
Meski demikian, Sri Mulyani menjanjikan pemerintah akan mulai mengurangi ketergantungan terhadap utang, yaitu dengan menekan defisit anggaran, agar pembiayaan melalui penerbitan surat berharga negara dapat diturunkan.
"Ini merupakan komitmen pemerintah yang telah dilakukan sejak pertengahan 2016. Kami akan terus menjaga defisit dan mengelola utang untuk hal-hal produktif, meningkatkan ekonomi dengan mengurangi risiko pembayaran kembali," ujarnya. (dw)