Jauh sebelum kawasan prostitusi di Kalijodo hingga Gang Dolly berjaya
hingga kini dimusnahkan oleh Pemprov setempat, Indonesia sudah punya
sejarah panjang terkait bisnis esek-esek ini. Ada sebuah tempat yang
berdiri di dekat Stasiun Beos di Jakarta di mana di tempat inilah
dulunya awal mula praktik pelacuran mulai didirikan di Indonesia.
Kalau kamu berkunjung ke sana, kamu masih bisa melihat kok sisa-sisa kejayaan tempat ini dari gedung-gedung tua yang masih kokoh berdiri di sana. Benar, di tempat itulah kawasan prostitusi ini berpusat. Nama tempatnya sendiri adalah Macao Po. Kalau kamu belum pernah dengar tentang Macao Po, kamu dapat menyimak beberapa fakta uniknya di bawah ini.
Sejarah pendirian Macao Po
Sulit menemukan catatan yang menyebutkan kapan tepatnya Macao Po didirikan. Beberapa sumber hanya menyebutkan bahwa Rumah bordil pertama di Indonesia ini didirikan sekitar abad ke-17 di Jakarta atau yang dulunya kita kenal bernama Batavia. Lokasinya berada di depan Stasion Beos saat ini. Nama Macao Po sendiri merujuk pada para Wanita Tuna Susila (WTS) yang saat itu banyak didatangkan dari Makau, Hong Kong.
Untuk siapa Macao Po didirikan?
Konsentrasi pelacuran yang dikuasai oleh para germo dari Portugis dan Cina ini awalnya bertujuan untuk menghibur para prajurit dan perwira Belanda yang berhasil menguasai Batavia serta para kapten dan letnan Tionghoa. Seiring perkembangannya, orang-orang berduit yang datang ke Batavia, entah itu untuk urusan bisnis atau lainnya, juga ikut mencicipi nikmatnya bisnis lendir ini.
Macao Po langgeng berkat lokasinya yang dekat dengan barak militer Belanda
Macao Po, selain dekat dengan pusat perhotelan, jaraknya juga tak jauh dengan tangsi militer milik Belanda, yakni di Binnenstadt, atau saat ini merupakan kawasan sekitar Kota Tua. Sudah dapat ditebak, karena lokasinya yang berdekatan, banyak prajurit yang datang ke rumah bordil ini untuk “melepas kepenatan”.
Dulu orang Betawi tak mengenal istilah pelacur
Saat itu orang Betawi tak kenal dengan istilah pelacur. Mereka menyebut wanita-wanita ini dengan sebutan cabo yang merupakan adaptasi dari bahasa Cina. Lambat laun istilah ini diperhalus dengan sebutan Wanita Tuna Susila (WTS) dan saat ini kembali diganti dengan istilah yang lebih populer, Pekerja Seks Komersial (PSK).
Pemuda lokal yang tak punya biaya, hanya bisa menggoda para pelacur yang lewat
Ada sebuah jembatan yang menjadi saksi bisu bagaimana berjalannya aktivitas di kawasan prostitusi ini. Jembatan Batu namanya. Nah, para pemuda lokal atau saat itu Hindia Belanda, yang kepincut merasakan hangatnya mendekap pelacur mancanegara tersebut, hanya bisa menyaksikan mereka hilir mudik. Uniknya, musik keroncong yang saat itu tengah naik daun, dijadikan sebagai “senjata” untuk menggoda para wanita ini. Ya, mungkin sekadar untuk memperoleh senyum mereka saja para pemuda ini sudah kegirangan.
Gang Mangga, kawasan pelacuran pesaing Macao Po khusus untuk segmen kelas bawah
Lantaran masyarakat kelas bawah juga ingin ikut merasakan seperti apa rasanya “berkencan” dengan WTS, muncullah komplek pelacuran anyar yang terletak di Gang Mangga atau berdekatan dengan Macao Po. Disebabkan karena bisnis ini begitu menjamur tanpa dibarengi kebersihan dan kesehatan yang terjamin, maka jangan heran kalau mereka yang pernah datang ke sini kemudian keluar dengan membawa penyakit kelamin, sifilis.
Saking populernya, penyakit sifilis diganti menjadi penyakit Gang Mangga
Sungguh, kebersihan para WTS di tempat ini sudah tak lagi karuan. Belum lagi jika memikirkan seperti apa kebersihan para pelanggannya yang berasal dari kelas bawah. Sehingga, penyakit sifilis terus menjamur. Hal ini diperparah dengan sulit disembuhkannya penyakit ini, karena antibiotik saat itu belum ditemukan. Maka istilah penyakit sifilis diganti dengan penyakit Gang Mangga.
Itulah ulasan singkat mengenai Macao Po, Rumah Bordil pertama di Indonesia yang bisa dibilang merupakan mbahnya Kalijodo. Kawasan prostitusi memang sudah banyak yang mati. Namun, perlu diingat bahwa bisnis ini adalah bisnis haram yang banyak dicari oleh orang. Sehingga saat ini kita akan lebih banyak menemukan kawasan prostitusi terselubung yang menyamar menjadi bisnis perhotelan, panti pijat, serta tak menutup kemungkinan bisnis “normal” lainnya yang tak pernah kita duga sebelumnya.
Kalau kamu berkunjung ke sana, kamu masih bisa melihat kok sisa-sisa kejayaan tempat ini dari gedung-gedung tua yang masih kokoh berdiri di sana. Benar, di tempat itulah kawasan prostitusi ini berpusat. Nama tempatnya sendiri adalah Macao Po. Kalau kamu belum pernah dengar tentang Macao Po, kamu dapat menyimak beberapa fakta uniknya di bawah ini.
Sejarah pendirian Macao Po
Sulit menemukan catatan yang menyebutkan kapan tepatnya Macao Po didirikan. Beberapa sumber hanya menyebutkan bahwa Rumah bordil pertama di Indonesia ini didirikan sekitar abad ke-17 di Jakarta atau yang dulunya kita kenal bernama Batavia. Lokasinya berada di depan Stasion Beos saat ini. Nama Macao Po sendiri merujuk pada para Wanita Tuna Susila (WTS) yang saat itu banyak didatangkan dari Makau, Hong Kong.
Untuk siapa Macao Po didirikan?
Konsentrasi pelacuran yang dikuasai oleh para germo dari Portugis dan Cina ini awalnya bertujuan untuk menghibur para prajurit dan perwira Belanda yang berhasil menguasai Batavia serta para kapten dan letnan Tionghoa. Seiring perkembangannya, orang-orang berduit yang datang ke Batavia, entah itu untuk urusan bisnis atau lainnya, juga ikut mencicipi nikmatnya bisnis lendir ini.
Macao Po langgeng berkat lokasinya yang dekat dengan barak militer Belanda
Macao Po, selain dekat dengan pusat perhotelan, jaraknya juga tak jauh dengan tangsi militer milik Belanda, yakni di Binnenstadt, atau saat ini merupakan kawasan sekitar Kota Tua. Sudah dapat ditebak, karena lokasinya yang berdekatan, banyak prajurit yang datang ke rumah bordil ini untuk “melepas kepenatan”.
Dulu orang Betawi tak mengenal istilah pelacur
Saat itu orang Betawi tak kenal dengan istilah pelacur. Mereka menyebut wanita-wanita ini dengan sebutan cabo yang merupakan adaptasi dari bahasa Cina. Lambat laun istilah ini diperhalus dengan sebutan Wanita Tuna Susila (WTS) dan saat ini kembali diganti dengan istilah yang lebih populer, Pekerja Seks Komersial (PSK).
Pemuda lokal yang tak punya biaya, hanya bisa menggoda para pelacur yang lewat
Ada sebuah jembatan yang menjadi saksi bisu bagaimana berjalannya aktivitas di kawasan prostitusi ini. Jembatan Batu namanya. Nah, para pemuda lokal atau saat itu Hindia Belanda, yang kepincut merasakan hangatnya mendekap pelacur mancanegara tersebut, hanya bisa menyaksikan mereka hilir mudik. Uniknya, musik keroncong yang saat itu tengah naik daun, dijadikan sebagai “senjata” untuk menggoda para wanita ini. Ya, mungkin sekadar untuk memperoleh senyum mereka saja para pemuda ini sudah kegirangan.
Gang Mangga, kawasan pelacuran pesaing Macao Po khusus untuk segmen kelas bawah
Lantaran masyarakat kelas bawah juga ingin ikut merasakan seperti apa rasanya “berkencan” dengan WTS, muncullah komplek pelacuran anyar yang terletak di Gang Mangga atau berdekatan dengan Macao Po. Disebabkan karena bisnis ini begitu menjamur tanpa dibarengi kebersihan dan kesehatan yang terjamin, maka jangan heran kalau mereka yang pernah datang ke sini kemudian keluar dengan membawa penyakit kelamin, sifilis.
Saking populernya, penyakit sifilis diganti menjadi penyakit Gang Mangga
Sungguh, kebersihan para WTS di tempat ini sudah tak lagi karuan. Belum lagi jika memikirkan seperti apa kebersihan para pelanggannya yang berasal dari kelas bawah. Sehingga, penyakit sifilis terus menjamur. Hal ini diperparah dengan sulit disembuhkannya penyakit ini, karena antibiotik saat itu belum ditemukan. Maka istilah penyakit sifilis diganti dengan penyakit Gang Mangga.
Itulah ulasan singkat mengenai Macao Po, Rumah Bordil pertama di Indonesia yang bisa dibilang merupakan mbahnya Kalijodo. Kawasan prostitusi memang sudah banyak yang mati. Namun, perlu diingat bahwa bisnis ini adalah bisnis haram yang banyak dicari oleh orang. Sehingga saat ini kita akan lebih banyak menemukan kawasan prostitusi terselubung yang menyamar menjadi bisnis perhotelan, panti pijat, serta tak menutup kemungkinan bisnis “normal” lainnya yang tak pernah kita duga sebelumnya.